Koalisi Pilpres 2024 dan Bursa Capres-Cawapres yang Menjual

JAKARTA – Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepakat kerja sama pada Pemilu 2024 . Kesepakatan itu merupakan hasil pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pada Sabtu (18/6/2022). Kesepakatan mereka menggagas Koalisi Indonesia Raya semakin menunjukkan kutub-kutub koalisi jelang Pilpres 2024, di mana ada 4 kutub koalisi, yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), kutub PDI Perjuangan (PDIP) dan kutub Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat. “Tentu perkembangan politik masih sangat dinamis ke depan,” kata Pengamat Politik dari Citra Intitute Yusa Farchan saat dihubungi, Senin (20/6/2022).

Namun, Yusa melihat bahwa kendalanya masih soal figur capres dan cawapres yang akan diusung oleh koalisi-koalisi tersebut. Pada KIB bentukan Golkar, PAN, dan PPP misalnya, memang potensial menjadi poros tersendiri.


Hanya saja, KIB masih dihadapkan pada problem siapa yang akan diusung sebagai capres-cawapres. “Jika mereka mengambil dari internal parpol, tentu yang paling layak adalah para ketua umumnya. Dengan pertimbangan jumlah kursi atau suara, maka Ketua Umum Golkar Airlangga tentu paling berhak untuk diusung sebagai capres,” ujarnya. Hanya saja, kata Yusa, elektabilitas Airlangga masih jauh di bawah Ganjar Pranowo, Prabowo, dan Anies Baswedan, sehingga ini menjadi problem KIB. “Realitas politik inilah yang membuat KIB bisa saja mengambil capres dari eksternal partai, seperti Ganjar. Yang jelas, Golkar bersama PAN dan PPP saat ini sedang membangun bargaining politik secara bersama yang saling menguntungkan,” terangnya. Kemudian, Yusa melanjutkan, Koalisi Indonesia Raya antara Partai Gerindra dan PKB. Meskipun sudah mencukupi syarat 20% presidential threshold dan bisa mengajukan capres dan cawapres sendiri. Namun, Yusa menilai, koalisi ini rapuh jika Prabowo dipasangkan dengan Cak Imin di pilpres.
Karena faktanya, elektabilitaa Cak Imin di sejumlah survei masih rendah. “Namun koalisi ini masih cukup rapuh jika yang diambil sebagai cawapres adalah Cak Imin mengingat elektabilitasnya yang masih rendah,” ujarnya. Untuk itu, dia menyarankan agar Prabowo memilih cawapres yang dapat memberikan insentif elektoral yang signifikan untuknya di pilpres nanti. “Pak Prabowo harus mengambil cawapres yang mampu menyumbangkan insentif elektoral secara signifikan,” saran Yusa. Soal peluang Prabowo-Puan, menurut dia, keputusan itu kembali kepada sikap politik Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Apalagi, kebiasaan Mega ini menentukan pasangan capres-cawapres di menit-menit terakhir.

“Inilah yang membuat Pak Prabowo harus mencari alternatif atau skenario-skenario lain,” tuturnya. Yang pasti, kata Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional ini, PDIP adalah satu-satunya partai yang punya privilege untuk mengusung capres-cawapres tanpa koalisi. “Jika privilege ini digunakan, maka PDIP akan menjadi poros tersendiri,” imbuhnya. Di luar poros-poros tersebut, Yusa melihat masih ada Nasdem, PKS, dan Demokrat yang ketiganya memiliki 162 kursi. Masuknya Anies sebagai bakal capres hasil Rakernas Nasdem, berpotensi menarik PKS dan Demokrat untuk bergabung dan membuat poros tersendiri. “Hanya saja, tampaknya Nasdem masih menunggu perkembangan elektabilitas, khususnya antara Anies dengan Ganjar,” tambah Yusa. Adapun potensi kelanjutan Koalisi Semut Merah antara PKB, PKS, dan Demokrat, dia melihat bahwa masalah pada koalisi PKB, PKS, dan Demokrat adalah pada figur capres yang akan diusung. Ketiga parpol tersebut tidak punya stok capres internal dengan elektabilitas tinggi. “Selain itu, basis pendukung PKS dan PKB yang berbeda secara ideologis, cenderung menyulitkan mereka untuk berkoalisi meskipun kemungkinan berkoalisi tetap ada,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button